Friday, March 17, 2017

WOOOW...Film Bid'ah Cinta Karya Seorang Santri

Kullu bid’tun dhalalatun wa Kullu dhalalatun fi an-naar
 
Dalil diatas sudah tidak asing didengar sedari beberapa tahun ke belakang di bumi Endonesa. Dalil demikian selalu dimuat oleh kalangan Islam puritan untuk menyinggung praktik ibadah kaum muslim tradisionalis. Praktik ibadah kaum tradisionalis kerapkali disesatkan lantaran mengadaptasi budaya lokal dan membuat ritus-ritus baru yang tidak dilakukan semasa Nabi Muhammad masih hidup. Islam di mata mereka begitu saklek, kaku dan selalu berbau Arab.

Tapi di tengah kehidupan sosial yang sudah banyak teori ini, apa jadinya bila manusia "terlepas itu ahlul bid’ah atau ahlul take a beer" harus diberikan rasa yang begitu sulit diterjemahkan kepada lawan jenis yang berbeda prinsip hidup dan bahkan saling bertentangan? Kalian percayakan bila cinta itu dipilih, bukan memilih?

Sebuah potret kontras antara Islam tradisional dan Islam puritan dalam bingkai cerita asmara akan kita temukan pada Film Bid’ah Cinta. Cerita ini memiliki narasi yang belakangan marak di tengah masyarakat kemudian dibenturkan dengan dua muslim yang memelihara rasa yang sama. Barangkali kita akan menyaksikan dimana potensi yang akan menyatukan mereka. Apakah Islam yang bersama-sama mereka anut, meski dengan berbeda paham, ataukah rasa yang mereka rawat sejak jumpa pertama?

Berbicara Bid’ah yang terlintas dalam benak adalah sebuah gerakan Islam puritan yang tidak toleran terhadap akidah dan keyakinan lain. Sementara cinta, rupa rasa yang lekat pada hati manusia, tidaklah bisa diingkari, sama halnya dengan perbedaan. Bid’ah Cinta, selain cerita asmara, juga  mengisahkan beberapa praktik ibadah yang  sering disinggung oleh Islam puritan yang tak pernah dilakukan semasa nabi hidup seperti Maulid Nabi, Malam Nisyfu Sya’ban atau juga tahlil.





 Baca juga : ( KH. Hasyim Muzadi Dimata Aktivis Muhammadiyah )

                   ( Foto Kenangan Saat Presiden Jokowi Mengusap Kaki Kyi Hasyim Muzadi )
                   ( 12 Tips Adab Malam Pertama Dalam Islam )

Film ini digagas oleh dua sahabat karib yang berbeda latar belakang, Ben Shohib seorang penulis Cerpen lalu dikembangkan oleh Nurman Hakim untuk mengangkat kisah tersebut dalam layar lebar. Sejak tahun 2013 Ben memiliki ide ini diangkat di panggung masyarakat. Di tahun tersebut memang adalah masa awal maraknya sebutan Bid’ah, Tahayul dan juga Khurafat yang dilekatkan pada masyarakat Islam tradisional.

Film yang dibintangi oleh Dimas aditya, Ayushita, Alex Abad dan juga Ibnu Jamil itu juga masih relevan untuk kritik sosial-agama hari ini. Saat gerakan Islam tengah begitu masif berteriak takbir tapi melupakan tadbir. Ketika Islam begitu seram di mata pemeluk agama lain dan bahkan sampai muncul wajah Islam yang tidak lagi menerima perbedaan. Wajah Islam yang ingin hukum dalam syariatnya diterapkan dalam negara yang memeluk keberagaman agama. Islam yang terus dibumbui Arab, Jenggot, Celana Cingkrang dan bertaklid buta pada apa saja yang dikatakan Habib. Islam yang terus melangit tetapi lupa berpijak di lesehan muka bumi.

Ben Shohib mengatakan Islam hari ini serupa paham politik yang diagamakan yang kemudian digunakan untuk kendaraan politik, dan saat politik telah memasuki ranah agama, tidak akan ada yang muncul selain konflik dan mobilisasi massa. Selaku penulis naskah, Ben percaya bahwa perbedaan itu harusnya ada dan merupakan sebuah hak dalam kehidupan. Hanya soal bagaimana cara manusia memandang itu semua. Lalu Ben menumpahkan kegelisahan itu melalui cerita-cerita pendek yang dikemas dengan humor untuk coba mencairkan suasana yang tengah begitu kaku dan sakral.

Tidak mudah bagi Nurman Hakim sebagai produser untuk membingkis sebuah fenomena zaman yang begitu kontras meski masih dalam satu lingkungan yang sama dan satu agama yang dipegang. Nurman yang juga merupakan seorang santri, melihat islam sudah jauh berbeda dari apa yang ia pelajari di pondok pesantren. Film ini, kata Nurman, bukan untuk tarik menarik dari dua belah pihak yang bersebrangan, melainkan mencoba menawarkan sebuah jembatan untuk menemukan bagaiamana seharusnya memandang dan menyikapi perbedaan.

Bila tak salah, film ini sudah mulai tayang sejak kemarin di layar lebar pusat belanja. Tapi untuk kalian yang menunggu versi bajakan dari situs internet, tolong hentikan, itu sebuah ritus bid’ah dalam dunia perfilman.





1 comment: