Secara pribadi, tercatat beberapa kali saya berjumpa Kiai
Hasyim. Perjumpaan pertama sekitar 24 tahun yang lalu (1993), tepatnya di
sebuah acara NU di Surabaya. Saat itu Kiai Hasyim baru awal-awal menjabat Ketua
Tanfidziyah PWNU Jawa Timur. Saat itu acara berlangsung malam hari. Saya
sendiri hadir di acara itu untuk maksud bertemu Gus Dur yang juga dijadwalkan
hadir pada acara tersebut, terkait dengan rencana kedatangan Gus Dur pada acara
yang digelar oleh IMM Komisariat FISIP UMM yang saat itu saya menjadi Ketua
Umumnya. Namun Gus Dur yang saya tunggu-tunggu tidak jadi datang. Akhirnya
selepas acara saya matur ke Kiai Hasyim, kalau tidak salah waktu itu juga ada
KH. Hasyim Lathif dan KH. Imron Hamzah (Rois Syuriah PWNU Jatim). Saya
sampaikan maksud kedatangan saya ke Kiai Hasyim. Kiai Hasyim begitu care dan
menanggapi dengan serius. Kiai Hasyim berjanji untuk membantu menghubungi Gus
Dur, bahkan Kiai Hasyim meminta saya menelepon dua hari berikutnya.
Dan benar,
berkat bantuan Kiai Hasyim, Gus Dur pun memastikan bisa hadir ke UMM. Selain
meminta bantuan Kiai Hasyim, saya sendiri secara langsung datang menemui Gus
Dur di Kantor PBNU Kramat Raya, tentu kantor yang masih begitu jelek. Masih
ingat betul, ketika saya diterima, Gus Dur tengah ditemani Mas Muhammad A S
Hikam yang saat itu kalau tidak salah baru pulang dari studinya di Hawaii. Saat
itu Gus Dur menyampaikan kalau sudah ditelp Kiai Hasyim dan prinsipnya akan
hadir ke UMM. Hebatnya, Gus Dur yang dikenal peduli kaum muda NU, meminta saya
agar mengundang juga Mas Hikam ke UMM. Saat itu saya kebingunganan, karena
untuk Diskusi Panelnya, saya sudah menghubungi Abangda Din Syamsuddin, Mas
Djohan Effendy, dan Pak Malik Fadjar sendiri selaku Rektor UMM. Namun yang
lebih hebat lagi, orang sebesar dan sehebat Gus Dur begitu mudahnya untuk
ditemui oleh mahasiswa ingusan seperti saya yang saat itu baru semester 4.
Akhirnya Gus Dur pun datang ke UMM diantar oleh KH. Amanullah Abdurrahim. Tentu
heboh Ketua Umum PBNU untuk kali pertama datang ke UMM. Pak Malik Fadjar, dan
Pak Muhadjir Effendy tampak saat itu begitu gembira atas kehadiran Gus Dur.
Pertemuan kedua dengan Kiai Hasyim terjadi saat saya menulis
Skripsi (1994). Saat itu saya menulis soal Perilaku Politik Kiai. Kiai Hasyim
menjadi salah satu key informan. Key informan lainnya adalah KH. Yusuf Hasyim,
KH. A. Wahid Zaini (colek Gus Abdul Hamid Wahid), KH. Shohib Bisri, KH. As'ad
Umar, KH. Aziz Masyhuri, KH. Arifin Khan, Gus Ishomuddin Hadziq, KH. Hasib
Wahab, KH. Nasrullah Abdurrahim (matur dateng Ning Umda Nasrullah n Ning Lili
Nashrullah), KH. Amanullah Abdurrahim (matur Ning Shobichatul Aminah) dan
beberapa lainnya. Masih ingat betul bagaimana ketika Kiai Hasyim menjelaskan
atau memaknai "Kembali ke Khittah". Saat itu Kiai Hasyim menyatakan
bahwa "kembali ke Khittah 1926 itu ibarat orang naik kendaraan lalu
mendapati kereta yang akan lewat, tentu tidak mungkin menabrakan mobil ke
kereta, karena itu sama halnya bunuh diri, yang baik tentu membiarkan kereta itu
lewat dulu, baru kita lewat ."Seingat saya waktu wawancara, Kiai Hasyim
juga cerita kalau putrinya kuliah di UMM. Untuk diketahui, putri KH. Hasyim
Muzadi memang ada yang kuliah di UMM. Menguliahkan putrinya di UMM untuk tokoh
NU sekelas Kiai Hasyim tentu mempunyai makna dan perspektif tersendiri yang
positif terhadap Muhammadiyah. Sama halnya ketika putra putri anak Muhamamdiyah
lalu nyantri di "Pesantren NU" juga diyakini punya makna dan cara
pandang yang positif terhadap NU.
Pertemuan ketiga dengan Kiai Hasyim terjadi dalam suasana
yang sama sekali tak nyaman dan rasanya malu untuk diceritakan. Namun karena
ada sisi kearifan dari sisi Kiai Hasyim, maka rasanya pantas untuk diceritakan.
Saat itu, kalau tidak salah beberapa hari menjelang Muktamar Lirboyo 1999,
nanti Gus M Aminudin bisa menceritakan, karena saat kejadian itu terjadi, saya
bersama Gus Aminuddin. Gus Aminuddin ini cermin orang yang sudah selesai dengan
keislamannya. Gus Amin tentu tahu dan paham saya saat itu aktivis IMM.
Tidak tau ceritanya, karena lupa, saya dan Gus Aminuddin ada
acara di Surabaya (saat itu saya masih kuliah S2 di Unair Surabaya), karena
kemalaman, akhirnya Gus Aminuddin mengajak bermalam di Kantor PWNU Jl. Darmo.
Masih ingat, waktu Gus Aminuddin bilang nanti kita tidur di ruang yang biasa
Kiai Hasyim istirahat kalau pas kemalaman. Saat itu saya setengah menolak.
Takut kualat, maklum pernah nyantri (haha). Untuk meyakinkan, Gus Aminuddin
bilang, "tidak apa-apa, kalau pun Kiai Hasyim ada dan tahu pun tidak
apa-apa." Waktu itu pun disampaikan bahwa sangat mungkin malam itu Kiai
Hasyim akan singgah sebentar ke Kantor PWNU. Dan benar, ketika kami memutuskan
nginep dan tidur di ruangan Kiai Hasyim, dini hari itu Kiai Hasyim mampir ke
Kantor PWNU dan masuk ke kamar tempat saya tidur. Saya pun dibuat malu. Namun
yang bikin ayem, karena sikap arif Kiai Hasyim. Ketika itu Kiai Hasyim bilang
"teruskan tidurnya, saya cuma sebentar saja, ambil surat." Seingat
saya waktu itu Kiai Hasyim baru kembali dari keliling daerah dan akan
melanjutkan perjalanan ke kediamannya di Malang.
Pertemuan keempat dan berikut-berikutnya tentu terjadi di
banyak tempat dan kegiatan, namun lebih sering terjadi di acara-acara
Muhammadiyah.
Bagi Muhammadiyah, Kiai Hasyim itu sosok yang dalam banyak
perspektifnya tentang Muhammadiyah menyerupai Gus Dur. Selain itu, ada
ketulusan juga dalam menjalin relasi dengan Muhammadiyah. Ketulusan Kiai Hasyim
ini kemudian lebih nyambung lagi karena Ketua Umum PP. Muhammadiyah yang
seangkatan dengan Kiai Hasyim adalah Abangda Din Syamsuddin, sama-sama alumni
Pesantren Gontor. Selain tentunya Abangda Din Syamsuddin juga punya latar
belakang NU.
Hubungan yang seperti ini menjadikan jalinan ukhuwah
Muhammadiyah dan NU di era Abangda Din Syamsuddin dan Kiai Hasyim menempati
pada posisi yang sangat harmonis. Secara pribadi hampir-hampir tak ada sekat
antara Kiai Hasyim dengan keluarga besar Muhammadiyah. Bahakan Muhammadiyah
bagi Kiai Hasyim seperti sudah menjadi "rumah" kedua setelah NU.
Abangda Din Syamsuddin sendiri seperti sudah menganggap Kiai
Hasyim sebagai kakaknya. Pernah dalam perbincangan terbatas, saat itu selepas
Kiai Hasyim tidak lagi menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU dan gagal menjadi Rais
'Am Syuriah PBNU (Pasca Muktamar Makassar 2010), Abangda Din Syamsuddin meminta
agar dalam setiap kegiatan PP. Muhammadiyah yang memungkinkan untuk mengundang
Kiai Hasyim, maka undanglah. Konteks pesan Abangda Din Syamsuddin adalah semata
untuk menghormati dan mengorangkan Kiai Hasyim. Maka hampir di dalam kegiatan
Muhammadiyah yang memungkinkan Kiai Hasyim diundang, pun Muhammadiyah
mengundangnya.
Karena hubungan yang begitu dekat ini, maka ketika mendapat
berita atas wafatnya KH. Hasyim Muzadi, saya dan pasti keluarga besar
Muhammadiyah khususnya dan umat Islam pada umumnya merasa sangat kehilangan.
Saya dan warga Muhammadiyah pasti merindukan "kemesrahan" yang
berhasil dijalin di era kepemimpinan Abangda Din Syamsuddin dan Kiai Hasyim.
Akhirnya, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur'an:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam surga-Ku."
Selamat jalan KH. Hasyim Muzadi, selamat menghadap ke Sang
Khalik. Semoga dengan keadilan-Nya, Allah tempat di singgasana surga-Nya yang
paling layak. Aamiin.
OLEH: MA'MUN MUROD AL-BARBASY
No comments:
Post a Comment