Tuesday, March 21, 2017

ISU AGAMA DI PILKADA JAKARTA


Apakah penggunaan isu agama hanya terjadi saat ini saja dalam sejarah Pilkada Jakarta? Jelas tidak dong cing. Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah elite dan tokoh agama dan politik di Jakarta itu (da'i, ustad, aktivis partai, pemimpin ormas, dlsb) hobi banget menggunakan isu agama demi memenangkan jagoan mereka sekaligus menjungkalkan lawan atau rival mereka.

Saya tekankan disini pada "tokoh" atau "elit" bukan massa. Kalau "massa" itu hanya "kelas pion" atau cheerleader penggembira grubyak-grubyuk kesana-kemari mengikuti kemana saja angin atau kentut "majikan" mereka bertiup. Majikannya ya siapa saja yang menyediakan "nasbung" (tak peduli Muslim-non-Muslim, aseng tongseng oseng-oseng he he). Modal "massa" ini cuma teriak sekeras-kerasnya tapi tidak mengerti substansi yang diteriakkan. Pokoknya teriak. Udah gitu ajah.

Dulu, pada tahun 2007 misalnya, ketika Fauzi Bowo bertarung melawan Adang Daradjatun yang diusung PKS, isu agama belum begitu tampak karena baik Fauzi Bowo maupun Adang Daradjatun sama-sama "satu kelas" lah latar belakang sosial dan kualitasnya. Selain itu, Fauzi Bowo didukung oleh mayoritas partai yang membuat PKS yang doyan "isu agama" jadi mengkeret.


Pada Pilkada 2012, "isu agama" mulai berhembus cukup santer didengungkan oleh PKS dan jaringan ustad dan dainya karena bos mereka Hidayat Nur Wahid ikut berlaga maju sebagai calon gubernur, bertarung melawan Jokowi (yang berpasangan dengan Ahok) dan Fauzi Bowo. Tema kampanye dan "pengajian/khutbah politik" waktu itu lebih fokus memilih pemimpin Islami dan gubernur syar'i. Maksudnya tentu saja untuk mempromosikan, memasarkan, dan memilih Ustad Hidayat Nur Wahid karena dialah yang dianggap paling "Islami," "syar'i", dan "Arabi" dibanding Fauzi Bowo apalagi Jokowi.

Tapi apa lacur, Hidayat keok ndlosor klepek-klepek di putaran pertama padahal PKS and rombongannya sudah sangat pede abis sambil membusungkan dada kalau jagoannya mampu meraup lebih dari 50% suara sehingga mampu memenangkan petarungan dengan mudah. Sim salabim aba gadabra cling eh ternyata cuma dapat 11% di doi sehingga harus terhempas di putaran pertama. Pada putaran pertama, Jokowi waktu itu dapat 42%. Sedangkan Fauzi Bowo memperoleh 34%.

Padahal, Pak Hidayat Nur Wahid adalah sosok yang relatif cukup populis di kalangan Muslim kota, apalagi kaum mualaf, karena pinter ngaji, tidak terlibat skandal korupsi (apalagi isu penistaan agama he he), tampilannya yang sederhana dan tampak "Islami". Pokoknya oke oce lah waktu itu. Mungkin Tuhan sedang memberi ujian dan cobaan buat beliau dan PKS supaya lebih bersabar dan tawakal karena hidup ini ternyata tidak datar seperti bumi.



Setelah kalah pada ronde pertama, isu agama mulai kenceng dihembuskan oleh sejumlah tokoh Muslim dan elit parpol Islami. Kali ini sasarannya tentu saja Jokowi-Ahok. Waktu itu, mereka bukan hanya menyerang Ahok yang memang sudah jelas "tapir-aseng" tetapi juga Jokowi yang dituduh macam-macam: Islam abanganlah, keluarga komunislah. Pokoknya banyak banget.

Meskipun diserang bertubi-tubi, ternyata Tuhan dan masyarakat Jakarta berkehendak lain: Jokowi-Ahok meraup 54% sehingga memenangkan laga Pilkada Jakarta. Alhamdulilah ya bos.

Kini, barisan pendukung Anies-Uno sebetulnya adalah "barisan sakit hati" atau "barisan pasien amnesia". Coba saja Anda pikir: Anies itu oleh "mereka" dulu dituduh Syiah-liberal, antek ini-itu. Cuma karena PKS itu miskin kader atau mungkin trauma dengan pengalaman masa lampau yang jagonya keok, akhirnya terpaksa deh dukung Anies.

Begitu pula, karena para tokoh "Islami" itu juga tidak punya calon Muslim yang handal dan "syar'i (apalagi Gubernur FPI Bang Oji juga gak tahu tuh bagaimana kabarnya, dimana rimbanya karena sudah lama kok gak pulang-pulang menyusul Bang Tayib kali ye he he), akhirnya ya terpaksa juga deh ikut-ikutan mendukung Anies yang dulu mereka Syiah-liberalkan itu.

Jadi istilahnya: "Tiada jenggot, jembut pun jadi" lah he he. Selamat berhari Jum'at...

Sumber berita : Tulisan Prof. Sumanto Al Qurtuby


No comments:

Post a Comment